Jilbab ternyata merupakan fenomena hidup berusia purba dan penuh nuansa. Jilbab bukan pakaian perempuan belaka,bukan monopoli Islam,dan sama sekali bukan berasal dari Arab. Jilbab bisa berfungsi sebagai bahasa penyampai pesan sosial budaya.
“bagi penganut Kristen Protestan,jilbab merupakan simbol pakaian yang bermuatan idealogis. Di kalangan umat Katolik ,jilbab menjadi pandangan tentang keperempuanan dan kesalehan. Pada masyarakat Islam,jilab bisa menjadi alat perlawanan.” Demikian salah satu tesis yang ditulis Fedwa dalam buku Veil: Modesty, Privacy and Resistance.
“saya ingin menjadi perempuan yang salehah,”kata sahabatku memberi alasan mengapa ia berjilbab. Saya langsung setuju karena teringat sabda Rasulullah SAW,” dunia ini perhiasan dan sebaik – baik perhiasan dunia adalah perempuan salehah.”
Akan tetapi, kadang saya melihat ada kecenderungan yang memakai jilbab karena ingin mengejar tren semata, bahkan ada yang justru ingin menonjolkan “bodi”-nya. Sementara, ruh kesalehan dan spiritualitasnya justru terabaikan.
Absennya ruh kesalehan dan spiritualitas dari busana jilbab misalnya tampak dari ketidakramahan , klaim kebenaran yang eksklusif, ketidakadilan,serta kecurigaan kepada pihak “lain”(the other), yang diekspresikan sebagian para pemaki jilbab itu.
Padahal sebagaimana dipesankan Al – Quran surah Ali Imran ayat 159,Islam mengajarkan kepada kita untuk bersikap lemah lembut terhadap semua orang. Seandainya kita bermuka seram,berhati beku,dan berkepal batu,maka banya orang yang akan lari menjauhi Islam.
Belajar memahami dan memaafkan orang lain kita anggap salah satu jauh lebih baik daripada terus mencelanya.Islam juga mengajrkan musyawarah dan dialog tentang berbagai hal yang dianggap penting dengan semua komponen masyarakat tanpa memandang agama,ras,dan sukunya.
Semua itu kita lakukan sebagai ikhtiar menggelar transformasi berbasis pluralisme yang bersifat pembebasan(liberation)menuju perjuangan bersama melawan segala bentuk ketidakadilan,kekerasan,dan penindasan.