Resensi film CINTA BRONTOSAURUS
Produser: Chand Parwez Servia,Fiaz Servia
Sutradara: Fajar Nugros
Pemeran:Raditya Dika,Eriska Rein,Soleh Solihin
Sutradara: Fajar Nugros
Pemeran:Raditya Dika,Eriska Rein,Soleh Solihin
Film ini berkisah tentang
Dika (Raditya Dika), seorang penulis yang baru saja putus cinta dengan sang
pacar, Nina (Pamela Bowie), setelah sekian lama menjalin hubungan. Semenjak
patah hati itu, dia percaya bahwa cinta bisa kadaluarsa dan berakhir.
Kegagalan cinta pribadi diolok-olok, dan bersamaan dengan
itu pribadi yang melakoni. Pesona Raditya Dika (berperan sebagai dirinya sendiri) jadi jualan mumpuni di sini:
lelaki muda, canggung di hadapan lawan jenis, seringkali melantur setiap diajak
bicara. Dari awal film, kita sudah mendapati bagaimana ia sudah mengalami
penolakan sejak usia dini. “Mau nggak jadi pacar gue?” tanya Dika kecil pada
teman sekolahnya. “Najis lo,” begitu jawaban yang ia terima.
Cinta Brontosaurus mengingatkan akan komedi Warkop DKI.
Apapun bisa disambung-sambungkan demi memancing tawa. Dalam film-film Warkop
DKI, tak peduli apa ceritanya, yang penting ada perempuan cantik.
Dalam Cinta Brontosaurus, tak peduli apa ceritanya, yang penting ada
perempuan cantik. Kesannya: tak ada yang lebih penting di dunia ini daripada
perempuan, perempuan, perempuan, dan birahi lelaki. Sepanjang film yang kita
dapati adalah galeri patah hati Dika, mulai dari putus karena pacarnya merasa
kurang diperhatikan, gagal kencan karena teman kencan mendadak melahirkan,
hingga dianggap lebih rendah daripada monyet peliharaan orang tua pacar. Jangan
heran. Dalam Cinta Brontosaurus, apapun mungkin, asal berhubungan dengan
perempuan.
Dalam Cinta Brontosaurus, kita mendapati Dika dan
Jessica (Eriska Erin) pacaran di atas pom bensin, jenis kencan yang sebenarnya tidak logis
tapi belum pernah kita lihat sebelumnya di film Indonesia. Ada pula adegan
ikonik lainnya, yakni ketika Dika dibonceng agennya, Kosasih (Soleh Solihun), naik motor malam-malam. Kosasih pakai handuk pink motif
bunga-bunga.
Cinta Brontosarus mengingatkan akan permasalahan
film-film Nugros: koherensi. Film-filmnya tersusun atas momen-momen yang
mencolok secara visual, tapi tidak jelas dasarnya apa. Cinta
Brontosaurus sebenarnya berada di posisi unik. Ceritanya tidak butuh
koherensi. Justru karena ia terdiri dari kepingan-kepingan guyonan, kita bisa
paham kalau cinta itu banal karena punya masa kadaluarsanya, seperti yang
disuarakan Raditya Dika sepanjang film. Ironisnya, pembuat film seperti
terbebani untuk memberi pesan moral untuk mengikat semua yang dialami Dika,
bahwasanya “sayang tidak butuh alasan” dan “cinta pasti kadaluarsa, yang
penting bagaimana kita menerima pasangan”. Pesan-pesan ini entah sudah diulang
berapa kali dalam sejarah sinema dunia, mengganggu ritme film, dan tidak
menambah apa-apa bagi tumbuh kembang protagonis maupun nilai cerita.
Cinta Brontosaurus mengingatkan akan klise-klise dalam
film komedi-roman Indonesia. Lelaki bisa berbuat salah, tapi perempuan
seakan-akan tak punya reaksi lain selain mengambek, mata melotot,
bentak-bentak. Perempuan juga seperti tak punya fungsi dalam dunia ini, kecuali
salonan, belanja berkantong-kantong, dan menjadikan pacarnya kuli panggul
belanjaan. Ternyata bukan cinta saja yang bisa kadaluarsa. Film juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar