CONTOH KASUS IKLAN TIDAK ETIS
YLKI Nilai Iklan Gorila XL Tidak Etis
Ditulis
pada 02 December 08
Meneruskan
desas desus yang santer di masyarakat, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) menilai iklan XL versi Gorila tidak etis, karena mengajak konsumen untuk
tidak berfikir kritis. Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi menyatakan, “Hal
itu sangat kontradiktif dengan kenyataan dimana konsumen seharusnya lebih
cerdas, dengan memilih terlebih dahulu produk mana yang layak dan tepat
dikonsumsi.”
Tulus
juga mengatakan iklan XL versi gorila dengan tagline “Pasti Termurah” tersebut
juga tidak wajar karena XL tidak memberikan keterangan seberapa murah atau
bukti lain dari sebuah lembaga independen untuk menilainya.
“Kata-kata
‘termurah’ yang dipakai XL juga sudah melanggar Undang-Undang (UU) No 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kalau XL punya bukti termurah, seharusnya
diberitakan secara matematis,” katanya.
Menaggapi
hal ini, Febriati Nadira, Manager Public Relation XL mengatakan, konteks
tidak perlu mikir dalam iklan XL tidak dimaksudkan agar pelanggan tidak perlu
kritis. Namun supaya lebih mudah diterima oleh konsumen, bahwa menggunakan XL
tidak perlu berfikir karena tarif pasti paling murah. “Pasalnya dengan membayar
Rp 1.000, pelanggan bisa melakukan telepon gratis berkali-kali selama 17 jam,”
katanya.
Mengenai
perhitungan matematis soal tarif, Febriati menyanggah, “Kami selalu transparan
dalam hal tarif. Semua bisa dihitung dan bisa dibandingkan dengan operator
lain, kalau XL memang yang termurah. Kami sudah mencantumkan secara transparan
di website XL,” tegasnya.
Selain
itu, tambahnya, berdasarkan laporan analis keuangan internasional Morgan
Stanley, tarif XL disebut termurah ke-2 di kawasan Asia. Padahal, kata
Febriati, laporan ini dikeluarkan pada April lalu, sedangkan XL terus
menurunkan tarifnya hingga sekarang.
CONTOH KASUS WHISTLE
BLOWING
Arthur Andersen Indonesia Belum
Terpengaruh Enron
TEMPO
Interaktif, Jakarta:Prasetio, Utomo & Co, member
akuntan publik Arthur Andersen di Indonesia, belum mendapat pengaruh bangkrutnya
Enron. Country Managing Partner Arthur Andersen Indonesia, Soemarso Slamet
Rahardjo, di kantornya, Jumat (5/4), juga mengatakan akan mengikuti kantor
pusat berkaitan dengan soal merger.
“Kami tetap bekerja seperti biasa tanpa gangguan, dengan dukungan infrastruktur
dan administratif penuh dari jaringan global maupun regional Andersen
Worldwide,” katanya.
Arthur Andersen LLP – member di Amerika Serikat – dianggap ikut bersalah dalam
kebangkrutan Enron. Akibatnya, Member Arthur Andersen di beberapa negara
seperti, Jepang dan Thailand, telah membuat kesepakatan merger dengan KPMG,
Australia dan Selandia Baru dengan Ernst & Young, dan Spanyol dengan
Deloitte Touche Tohmatsu.
Soemarso mengatakan di Amerika Serikat, sejumlah kliennya tidak lagi menggunakan
Andersen sebagai konsultannya akibat kasus Enron. “Kalau Indonesia, seperti
saya katakan, secara bisnis masih bisa dipertahankan,” katanya. “Belum ada
klien yang drop gara-gara kasus Enron.”
Ia mengatakan perkembangan terakhir yang terjadi pada Andersen LLP dapat
mempengaruhi hubungan kerjasama perusahaan yang berdiri sejak 1968 itu dengan
Andersen. Tapi, katanya, “Sampai saat ini kami masih bekerjasama dengan Andersen.” Tapi jika Andersen di Amerika Serikat
kondisinya tidak membaik, katanya, “Mau tidak mau kita juga nantinya terpaksa
harus merger.” Ia mengatakan Arthur
Andersen Indonesia, yang memiliki lebih dari 1000 eksekutif, akan mengikuti
kebijakan pusat. “Dengan siapa [kita merger], kita ikutin,” katanya. Alasannya,
jika merger sendiri, meskipun berhak, nilainya akan dipandang kecil.
Ia juga mengatakan dirinya dan sekitar 40 partner Prasetio Utomo akan terus
mengkaji dengan hati-hati beberapa opsi sambil mencermati perkembangan di AS.
Pada waktunya nanti, lanjut dia, Prasetio Utomo akan membuat keputusan yang
sebaik-baiknya untuk melindungi kepentingan karyawan. “(Seandainya merger)Tidak
ada pemutusan hubungan kerja. Tidak ada itu,” tegasnya.
Di Amerika sendiri, aktivitas seluruh member Andersen dibekukan pemerintah.
Akibatnya, menurut Asian Wall Street Journal edisi Jumat (5/4), klien-klien
Andersen LLP beralih ke berbagai auditor. Antara lain Delotte and Touche (10
persen), KPMG (11 persen), PriceWaterhouseCooper (20 persen), dan Ernst &
Young (28 persen). Dan yang berpindah ke auditor-auditor kecil lainnya atau
mengaku belum tahu berpindah kemana sebanyak 40 persen.
Prasetio, Utomo&Co didirikan tahun 1968. Pada awal pendiriannya, firm ini
bekerja sama dengan SGV Group (Sycip, Gorres, Velayo) yang berbasis di Manila,
Filipina. Pada saat itu, SGV Group merupakan KAP independen yang memiliki
jaringan terbesar di Asia Timur. Pada tahun 1985, SGV Group bergabung menjadi
mitra Arthur Andersen & Co., Societe Cooperative, yang diikuti pula oleh
Prasetio Utomo. (Ucok Ritonga-Tempo News Room)
CONTOH KASUS HAK PEKERJA
HAK PEKERJA WANITA MASIH TERABAIKAN
Koalisi yang
terdiri dari serikat pekerja dan LSM menilai perlindungan hak pekerja perempuan
masih minim. Pekerja perempuan masih kerap menerima tindakan kekerasan dan
pelecahan yang dilakukan atasannya.
Anggota
Koalisi dari Kalyanamitra, Rena Herdiyani, hal itu menimpa tak hanya pekerja
yang bekerja di Indonesia tapi juga di luar negeri (TKI). Ia memperkirakan ada
70 persen dari 80ribu pekerja perempuan mengalami pelecehan seksual.
Menurut
Rena, hal itu terjadi karena ketidakseimbangan relasi kekuasaan antara
pengusaha dan pekerja. Walau adaSurat EdaranMenakertrans No 03 Tahun 2011
tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual, namun pelaksanaannya dirasa belum
memuaskan. "Belum ada perkembangannya sejauh mana terimplementasi,"
katanya dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Senin (29/4).
Anggota
Koalisiyang laindari Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Wa Ampi, mengatakan di
kawasan industri di KBN Cakung Jakarta, mayoritas pekerja perempuan
pengetahuannya atas hak masih minim. Akibatnya, para pekerja tak tahu kalau
tindakan yang dilakukan atasannya tergolong pelecehan seksual atau diskriminasi
terhadap perempuan.
Kasus yang
banyak terjadi yaitu pekerja perempuan dirayu atasannya untuk diajak berkencan
dengan iming-iming diangkat menjadi pekerja tetap. Sebagai upaya memberi
pemahaman atas hak pekerja perempuan sebagaimana diatur dalam UU
Ketenagakerjaan dan peraturan lainnya, Ampi menyebut FBLP membentuk komite yang
bertugas memberi pemahaman itu kepada pekerja perempuan. "Di KBN Cakung 90
persen pekerja terdiri dari perempuan," tuturnya.
Selaras
dengan itu Ampi mendesak pemerintah untuk menggalakkan sosialisasi kepada
perusahaan-perusahaan tentang hak pekerja perempuan.Misalnya hak pekerja
perempuan untuk mendapat angkutan khusus bila bekerja hingga larut malam karena
lembur.
Di sisi
lain, Ampi berpendapat mestinya perusahaan yang bersangkutan menjamin
keselamatan pekerjanya sampai ke rumah dengan cara menyediakan angkutan. Selain
itu perlu juga diberikan pemahaman kepada pekerja bagaimana mencegah terjadinya
tindak kekerasan, pelecehan seksual dan diskriminasi di tempat kerja.
Senada,
anggota koalisi dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Devi
Fitriana, melihat masih banyak perusahaan yang belum memenuhi hak pekerja
perempuan. Misalnya, menyediakan ruangan khusus menyusui di tempat kerja. Ada
pula perusahaan yang memutus hubungan kerja (PHK) seorang pekerja perempuan
yang mengidap HIV/AIDS.
Selain itu
Devi menilai pemerintah perlu membuat kebijakan yang mewajibkan perusahaan yang
pekerjanya mayoritas perempuan untuk menyediakan klinik khusus. Misalnya,
menyediakan tenaga medis khusus bidang kesehatan reproduksi perempuan dan
bidan. Pasalnya, kesehatan reproduksi perempuan harus dijaga karena tergolong
rentan. "Jadi pekerja perempuan bisa optimal dalam bekerja," ucapnya.
Sedangkan
anggota koalisi dari AJI Jakarta, Anastasia Lilin, menyoroti PHK sepihak yang
menimpa pekerja perempuan di lima perusahaan media. Ia menyebut perusahaan
media tak luput dari masalah ketenagakerjaan. Selain PHK sepihak, diskriminasi
terhadap pekerja perempuan sering terjadi. Misalnya, pekerja perempuan sulit
menduduki jabatan strategis di perusahaan media. Akibatnya, produk-produk media
masih didominasi perspektif kaum lelaki.
Soal penata
laksana rumah tangga (PLRT), anggota koalisi dari Mitra Imadei, Inke Maris,
mengatakan banyak anak-anak berusia 12-17 tahun bekerja di jenis pekerjaan itu.
Ironisnya, pekerjaan yang dilakukan bukan hanya satu jenis, tapi banyak, mulai
dari membereskan rumah, menjaga toko sampai mengurus anak majikan. Secara umum
pekerjaan yang banyak itu kerap dilakukan oleh PLRT. Mengingat PLRT didominasi
oleh perempuan, Inke mengatakan perlindungan pemerintah terhadap mereka sangat
minim. Terutama PLRT yang masih berusia anak-anak. “Hak anak tidak mereka
dapatkan seperti pendidikan dan bermain,” tukasnya.
Tak
ketinggalan, anggota koalisi dari Migrant Care, Bariyah, mengatakan Indonesia
termasuk negara pengirim pekerja migran terbesar. Dari seluruh pekerja migran
asal Indonesia sekitar 70 persennya berjenis kelamin perempuan. Oleh karenanya,
ketika ada persoalan yang menimpa pekerja migran, secara langsung bersinggungan
dengan nasib perempuan. Sampai akhir 2012 Migrant Care mencatat ada 420 pekerja
migran terancam hukuman mati. Salah satunya pekerja migran asal Semarang, Jawa
Tengah, Satinah. Begitu pula dengan nasib tragis seorang pekerja migran yang
diperkosa beramai-ramai oleh polisi Malaysia.
Mengacu
berbagai persoalan pekerja migran itu Bariyah mengatakan pemerintah lamban
dalam melakukan bantuan hukum. Misalnya, untuk kasus Satinah, Bariyah menyebut
untuk menyelesaikannya pemerintah menyewa pengacara. Padahal, Bariyah
memperkirakan hal itu tak cukup karena butuh diplomasi tingkat tinggi dengan
kerajaan Arab Saudi untuk menuntaskan masalah tersebut. Hal lain yang
disayangkan Bariyah, terjadinya iklan TKI di Malaysia yang intinya memberi
potongan harga untuk pengguna jasa TKI.
Melihat
fakta tersebut Bariyah berkesimpulan pemerintah belum serius melakukan
perlindungan untuk pekerja migran. Khususnya mengimplementasikan UU No.16 Tahun
2012 tentang ratifikasi Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak
Pekerja Migran dan Keluarganya. Akibatnya, perspektif pengelolaan pekerja
migran yang dilakukan pemerintah cenderung mengarahkan pekerja migran hanya
sebatas komoditas. Untuk memperbaiki hal tersebut Bariyah mengatakan Migrant
Care berkomitmen mengawal pembahasan RUU PPILN yang saat ini sedang digodok di
DPR. “Agar catatan hitam (kasus-kasus,-red) pekerja migran bisa terus menurun,”
urainya.
Terpisah,
Ketua bidang UKM, Wanita Pengusaha, Wanita Pekerja, Gender dan Sosial APINDO,
Nina Tursinah, mengatakan sebagai organisasi pengusaha, APINDO membantu
pemerintah melakukan sosialisasi tentang hak pekerja perempuan ke berbagai
perusahaan. Untuk perusahaan berskala besar, Nina menyebut APINDO tak mendapat
kesulitan dalam melakukan kegiatan sosialisasi tersebut.
Tapi, jika
dijumpai terdapat perusahaan besar yang belum memenuhi hak pekerja perempuan
seperti menyediakan angkutan khusus bagi pekerja yang pulang larut malam dan
ruang menyusui menurutnya itu bukan sebuah kesengajaan. Namun, secara umum Nina
mengatakan perusahaan skala besar cenderung sudah memenuhi hak pekerja perempuan
sebagaimana diamanatkan peraturan yang ada dengan cukup baik.
Untuk
industri di bidang Usaha Kecil Menengah (UKM), Nina mengatakan APINDO mengalami
kesulitan melakukan sosialisasi. Pasalnya, sektor industri UKM sangat luas dan
menyebar sampai ke daerah. Untuk memaksimalkan kegiatan itu Nina berharap
pemerintah, khususnya Kemenakertrans membantu melakukan sosialisasi. Kendala
lain yang kerap dijumpai dalam menyosialisasikan hak pekerja perempuan di
industri UKM diantaranya berkaitan dengan terbatasnya ruangan untuk menyediakan
tempat khusus untuk menyusui serta keterbatasan kemampuan untuk menyediakan
transportasi.
Walau sudah
melakukan kewajibannya untuk melakukan sosialisasi, namun Nina mengakui
kegiatan tersebut belum dilakukan APINDO secara maksimal. Atas dasar itu, Nina
mengimbau kepada seluruh pemangku kepentingan agar berbarengan mengkampanyekan
pentingnya pemenuhan hak pekerja perempuan. “Memang kami belum lakukan
sosialisasi secara maksimal, itu tugas kita bersama,” pungkasnya.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt517e525593bf9/hak-pekerja-perempuan-masih-terabaikan
CONTOH KASUS PASAR BEBAS
TEMPO Interaktif, Taiwan - Dua jaringan supermarket terbesar di
Taiwan berhenti menjual produk mi instan merek Indomie setelah pemerintah
Taiwan menemukan bahan pengawet yang dilarang di produk asal Indonesia.Pusat
Keamanan Makanan Taiwan telah menguji mi tersebut dan bakal menanyakannya
terhadap insiden tersebut ke para importir dan distributor. Importir dari Hong
Kong mengatakan mi-mi tersebut diperkirakan dibawa ke Thailand secara ilegal.
Beberapa warga Taiwan mengatakan mereka akan membeli mi merek lain. Sementara,
para tenaga kerja Indonesia di Taiwan mengaku akan tetap memakan Indomie karena
harganya enak dan murah.Pemerintah Taiwan mengumumkan menarik mi instan
Indomie, Jumat. Penarikan itu dilakukan setelah dua bahan pengawet terlarang,
methyl p-hydroxybenzoate dan benzoic acid, ditemukan di dalam Indomie. Bahan
pengawet tersebut hanya dibolehkan untuk kosmetik.
Bahan pengawet tersebut dilarang digunakan di makanan-makanan di Taiwan,
Kanada, dan Eropa. Jika bahan pengawet tersebut dikonsumsi, bisa menyebabkan
orang muntah. Bahkan, kalau bahan pengawet tersebut dimakan untuk jangka waktu
yang cukup lama atau dalam jumlah yang banyak, itu bisa menyebabkan metabolic
acidosis, sebuah kondisi akibat terlalu banyak mengkonsumsi asam.Jaringan toko
ParknShop dan Wellcome menarik semua produk Indomie dari supermarket-supermarket
milik mereka. Importir Indomie di Taiwan, Fok Hing (HK) Trading, mengatakan mi
produk Indomie sudah memenuhi standar keamanan makanan di Hong Kong maupun
Badan Kesehatan Dunia (WHO). Fok Hing (HK) Trading mengutip penilaian kualitas
Indomie pada Juni yang menyatakan tidak menemukan kandungan pengawet terlarang
di Indomie. "Mi Indomie aman dimakan dan mereka masuk ke Hong Kong melalui
salurang impor resmi," tulis Fok Hing (HK) Trading. "Produk yang
mengandung racun dan ditemukan di Taiwan diduga diimpor secara ilegal." Sebuah
supermarket Indonesia di Taiwan, East-Southern Cuisine Express, di Causeway Bay
mengatakan bahwa produk Indomie mereka bukan barang selundupan dan aman
dimakan. Satu paket berisi lima bungkus Indomie di Taiwan dijual 10 dolar Hong
Kong (Rp 11. 500) Sementara, merek lainnya seharga 15 dolar Hong Kong (Rp
17.200) sampai 20 dolar Hong Kong (Rp 23.000). Indomie diminati di Hong Kong
setelah sebuah iklan menunjukkan seorang bayi menari dan terbang setelah minum
satu mangkuk Indomie.
Sementara itu, produsen Indomie di Indonesia, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk
(ICBP).mengatakan produk-produk mereka sudah memenuhi standar internasional. "ICBP
menegaskan bahwa produk-produknya telah sesuai dengan petunjuk global yang
dibuat CODEX Alimentarius Commission, badan standar makanan internasional. Kami
sedang mengkaji situasi di Taiwan terkait beberapa laporan tersebut dan akan
mengambil langkah yang diperlukan untuk melindungi konsumen kami di negara itu
dan negara lainnya," ujar Direktur ICBP Taufik Wiraatmadja dalam siaran
pers di situs Indofood, Senin (11/10).
http://www.tempo.co/read/news/2010/10/11/118283832/Mengandung-Pengawet-Terlarang-Indomie-Ditarik-di-Taiwan