Rabu, 08 Januari 2014

CONTOH-CONTOH KASUS



 CONTOH KASUS IKLAN TIDAK ETIS

YLKI Nilai Iklan Gorila XL Tidak Etis

Ditulis pada 02 December 08
Meneruskan desas desus yang santer di masyarakat, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai iklan XL versi Gorila tidak etis, karena mengajak konsumen untuk tidak berfikir kritis. Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi menyatakan, “Hal itu sangat kontradiktif dengan kenyataan dimana konsumen seharusnya lebih cerdas, dengan memilih terlebih dahulu produk mana yang layak dan tepat dikonsumsi.”
Tulus juga mengatakan iklan XL versi gorila dengan tagline “Pasti Termurah” tersebut juga tidak wajar karena XL tidak memberikan keterangan seberapa murah atau bukti lain dari sebuah lembaga independen untuk menilainya.
“Kata-kata ‘termurah’ yang dipakai XL juga sudah melanggar Undang-Undang (UU) No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kalau XL punya bukti termurah, seharusnya diberitakan secara matematis,” katanya.
Menaggapi hal ini, Febriati Nadira, Manager Public Relation XL mengatakan, konteks tidak perlu mikir dalam iklan XL tidak dimaksudkan agar pelanggan tidak perlu kritis. Namun supaya lebih mudah diterima oleh konsumen, bahwa menggunakan XL tidak perlu berfikir karena tarif pasti paling murah. “Pasalnya dengan membayar Rp 1.000, pelanggan bisa melakukan telepon gratis berkali-kali selama 17 jam,” katanya.
Mengenai perhitungan matematis soal tarif, Febriati menyanggah, “Kami selalu transparan dalam hal tarif. Semua bisa dihitung dan bisa dibandingkan dengan operator lain, kalau XL memang yang termurah. Kami sudah mencantumkan secara transparan di website XL,” tegasnya.
Selain itu, tambahnya, berdasarkan laporan analis keuangan internasional Morgan Stanley, tarif XL disebut termurah ke-2 di kawasan Asia. Padahal, kata Febriati, laporan ini dikeluarkan pada April lalu, sedangkan XL terus menurunkan tarifnya hingga sekarang.






CONTOH KASUS WHISTLE BLOWING

Arthur Andersen Indonesia Belum Terpengaruh Enron



TEMPO Interaktif, Jakarta:Prasetio, Utomo & Co, member akuntan publik Arthur Andersen di Indonesia, belum mendapat pengaruh bangkrutnya Enron. Country Managing Partner Arthur Andersen Indonesia, Soemarso Slamet Rahardjo, di kantornya, Jumat (5/4), juga mengatakan akan mengikuti kantor pusat berkaitan dengan soal merger.
“Kami tetap bekerja seperti biasa tanpa gangguan, dengan dukungan infrastruktur dan administratif penuh dari jaringan global maupun regional Andersen Worldwide,” katanya.
Arthur Andersen LLP – member di Amerika Serikat – dianggap ikut bersalah dalam kebangkrutan Enron. Akibatnya, Member Arthur Andersen di beberapa negara seperti, Jepang dan Thailand, telah membuat kesepakatan merger dengan KPMG, Australia dan Selandia Baru dengan Ernst & Young, dan Spanyol dengan Deloitte Touche Tohmatsu.

Soemarso mengatakan di Amerika Serikat, sejumlah kliennya tidak lagi menggunakan Andersen sebagai konsultannya akibat kasus Enron. “Kalau Indonesia, seperti saya katakan, secara bisnis masih bisa dipertahankan,” katanya. “Belum ada klien yang drop gara-gara kasus Enron.”

Ia mengatakan perkembangan terakhir yang terjadi pada Andersen LLP dapat mempengaruhi hubungan kerjasama perusahaan yang berdiri sejak 1968 itu dengan Andersen. Tapi, katanya, “Sampai saat ini kami masih bekerjasama dengan Andersen.”  Tapi jika Andersen di Amerika Serikat kondisinya tidak membaik, katanya, “Mau tidak mau kita juga nantinya terpaksa harus merger.”  Ia mengatakan Arthur Andersen Indonesia, yang memiliki lebih dari 1000 eksekutif, akan mengikuti kebijakan pusat. “Dengan siapa [kita merger], kita ikutin,” katanya. Alasannya, jika merger sendiri, meskipun berhak, nilainya akan dipandang kecil.

Ia juga mengatakan dirinya dan sekitar 40 partner Prasetio Utomo akan terus mengkaji dengan hati-hati beberapa opsi sambil mencermati perkembangan di AS. Pada waktunya nanti, lanjut dia, Prasetio Utomo akan membuat keputusan yang sebaik-baiknya untuk melindungi kepentingan karyawan. “(Seandainya merger)Tidak ada pemutusan hubungan kerja. Tidak ada itu,” tegasnya.

Di Amerika sendiri, aktivitas seluruh member Andersen dibekukan pemerintah. Akibatnya, menurut Asian Wall Street Journal edisi Jumat (5/4), klien-klien Andersen LLP beralih ke berbagai auditor. Antara lain Delotte and Touche (10 persen), KPMG (11 persen), PriceWaterhouseCooper (20 persen), dan Ernst & Young (28 persen). Dan yang berpindah ke auditor-auditor kecil lainnya atau mengaku belum tahu berpindah kemana sebanyak 40 persen.

Prasetio, Utomo&Co didirikan tahun 1968. Pada awal pendiriannya, firm ini bekerja sama dengan SGV Group (Sycip, Gorres, Velayo) yang berbasis di Manila, Filipina. Pada saat itu, SGV Group merupakan KAP independen yang memiliki jaringan terbesar di Asia Timur. Pada tahun 1985, SGV Group bergabung menjadi mitra Arthur Andersen & Co., Societe Cooperative, yang diikuti pula oleh Prasetio Utomo. (Ucok Ritonga-Tempo News Room)




CONTOH KASUS HAK PEKERJA


HAK PEKERJA WANITA MASIH TERABAIKAN

Koalisi yang terdiri dari serikat pekerja dan LSM menilai perlindungan hak pekerja perempuan masih minim. Pekerja perempuan masih kerap menerima tindakan kekerasan dan pelecahan yang dilakukan atasannya.
Anggota Koalisi dari Kalyanamitra, Rena Herdiyani, hal itu menimpa tak hanya pekerja yang bekerja di Indonesia tapi juga di luar negeri (TKI). Ia memperkirakan ada 70 persen dari 80ribu pekerja perempuan mengalami pelecehan seksual.
Menurut Rena, hal itu terjadi karena ketidakseimbangan relasi kekuasaan antara pengusaha dan pekerja. Walau adaSurat EdaranMenakertrans No 03 Tahun 2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual, namun pelaksanaannya dirasa belum memuaskan. "Belum ada perkembangannya sejauh mana terimplementasi," katanya dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Senin (29/4).
Anggota Koalisiyang laindari Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Wa Ampi, mengatakan di kawasan industri di KBN Cakung Jakarta, mayoritas pekerja perempuan pengetahuannya atas hak masih minim. Akibatnya, para pekerja tak tahu kalau tindakan yang dilakukan atasannya tergolong pelecehan seksual atau diskriminasi terhadap perempuan.
Kasus yang banyak terjadi yaitu pekerja perempuan dirayu atasannya untuk diajak berkencan dengan iming-iming diangkat menjadi pekerja tetap. Sebagai upaya memberi pemahaman atas hak pekerja perempuan sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan peraturan lainnya, Ampi menyebut FBLP membentuk komite yang bertugas memberi pemahaman itu kepada pekerja perempuan. "Di KBN Cakung 90 persen pekerja terdiri dari perempuan," tuturnya.
Selaras dengan itu Ampi mendesak pemerintah untuk menggalakkan sosialisasi kepada perusahaan-perusahaan tentang hak pekerja perempuan.Misalnya hak pekerja perempuan untuk mendapat angkutan khusus bila bekerja hingga larut malam karena lembur.
Di sisi lain, Ampi berpendapat mestinya perusahaan yang bersangkutan menjamin keselamatan pekerjanya sampai ke rumah dengan cara menyediakan angkutan. Selain itu perlu juga diberikan pemahaman kepada pekerja bagaimana mencegah terjadinya tindak kekerasan, pelecehan seksual dan diskriminasi di tempat kerja.
Senada, anggota koalisi dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Devi Fitriana, melihat masih banyak perusahaan yang belum memenuhi hak pekerja perempuan. Misalnya, menyediakan ruangan khusus menyusui di tempat kerja. Ada pula perusahaan yang memutus hubungan kerja (PHK) seorang pekerja perempuan yang mengidap HIV/AIDS.
Selain itu Devi menilai pemerintah perlu membuat kebijakan yang mewajibkan perusahaan yang pekerjanya mayoritas perempuan untuk menyediakan klinik khusus. Misalnya, menyediakan tenaga medis khusus bidang kesehatan reproduksi perempuan dan bidan. Pasalnya, kesehatan reproduksi perempuan harus dijaga karena tergolong rentan. "Jadi pekerja perempuan bisa optimal dalam bekerja," ucapnya.
Sedangkan anggota koalisi dari AJI Jakarta, Anastasia Lilin, menyoroti PHK sepihak yang menimpa pekerja perempuan di lima perusahaan media. Ia menyebut perusahaan media tak luput dari masalah ketenagakerjaan. Selain PHK sepihak, diskriminasi terhadap pekerja perempuan sering terjadi. Misalnya, pekerja perempuan sulit menduduki jabatan strategis di perusahaan media. Akibatnya, produk-produk media masih didominasi perspektif kaum lelaki.
Soal penata laksana rumah tangga (PLRT), anggota koalisi dari Mitra Imadei, Inke Maris, mengatakan banyak anak-anak berusia 12-17 tahun bekerja di jenis pekerjaan itu. Ironisnya, pekerjaan yang dilakukan bukan hanya satu jenis, tapi banyak, mulai dari membereskan rumah, menjaga toko sampai mengurus anak majikan. Secara umum pekerjaan yang banyak itu kerap dilakukan oleh PLRT. Mengingat PLRT didominasi oleh perempuan, Inke mengatakan perlindungan pemerintah terhadap mereka sangat minim. Terutama PLRT yang masih berusia anak-anak. “Hak anak tidak mereka dapatkan seperti pendidikan dan bermain,” tukasnya.
Tak ketinggalan, anggota koalisi dari Migrant Care, Bariyah, mengatakan Indonesia termasuk negara pengirim pekerja migran terbesar. Dari seluruh pekerja migran asal Indonesia sekitar 70 persennya berjenis kelamin perempuan. Oleh karenanya, ketika ada persoalan yang menimpa pekerja migran, secara langsung bersinggungan dengan nasib perempuan. Sampai akhir 2012 Migrant Care mencatat ada 420 pekerja migran terancam hukuman mati. Salah satunya pekerja migran asal Semarang, Jawa Tengah, Satinah. Begitu pula dengan nasib tragis seorang pekerja migran yang diperkosa beramai-ramai oleh polisi Malaysia.
Mengacu berbagai persoalan pekerja migran itu Bariyah mengatakan pemerintah lamban dalam melakukan bantuan hukum. Misalnya, untuk kasus Satinah, Bariyah menyebut untuk menyelesaikannya pemerintah menyewa pengacara. Padahal, Bariyah memperkirakan hal itu tak cukup karena butuh diplomasi tingkat tinggi dengan kerajaan Arab Saudi untuk menuntaskan masalah tersebut. Hal lain yang disayangkan Bariyah, terjadinya iklan TKI di Malaysia yang intinya memberi potongan harga untuk pengguna jasa TKI.
Melihat fakta tersebut Bariyah berkesimpulan pemerintah belum serius melakukan perlindungan untuk pekerja migran. Khususnya mengimplementasikan UU No.16 Tahun 2012 tentang ratifikasi Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Keluarganya. Akibatnya, perspektif pengelolaan pekerja migran yang dilakukan pemerintah cenderung mengarahkan pekerja migran hanya sebatas komoditas. Untuk memperbaiki hal tersebut Bariyah mengatakan Migrant Care berkomitmen mengawal pembahasan RUU PPILN yang saat ini sedang digodok di DPR. “Agar catatan hitam (kasus-kasus,-red) pekerja migran bisa terus menurun,” urainya.
Terpisah, Ketua bidang UKM, Wanita Pengusaha, Wanita Pekerja, Gender dan Sosial APINDO, Nina Tursinah, mengatakan sebagai organisasi pengusaha, APINDO membantu pemerintah melakukan sosialisasi tentang hak pekerja perempuan ke berbagai perusahaan. Untuk perusahaan berskala besar, Nina menyebut APINDO tak mendapat kesulitan dalam melakukan kegiatan sosialisasi tersebut.
Tapi, jika dijumpai terdapat perusahaan besar yang belum memenuhi hak pekerja perempuan seperti menyediakan angkutan khusus bagi pekerja yang pulang larut malam dan ruang menyusui menurutnya itu bukan sebuah kesengajaan. Namun, secara umum Nina mengatakan perusahaan skala besar cenderung sudah memenuhi hak pekerja perempuan sebagaimana diamanatkan peraturan yang ada dengan cukup baik.
Untuk industri di bidang Usaha Kecil Menengah (UKM), Nina mengatakan APINDO mengalami kesulitan melakukan sosialisasi. Pasalnya, sektor industri UKM sangat luas dan menyebar sampai ke daerah. Untuk memaksimalkan kegiatan itu Nina berharap pemerintah, khususnya Kemenakertrans membantu melakukan sosialisasi. Kendala lain yang kerap dijumpai dalam menyosialisasikan hak pekerja perempuan di industri UKM diantaranya berkaitan dengan terbatasnya ruangan untuk menyediakan tempat khusus untuk menyusui serta keterbatasan kemampuan untuk menyediakan transportasi.
Walau sudah melakukan kewajibannya untuk melakukan sosialisasi, namun Nina mengakui kegiatan tersebut belum dilakukan APINDO secara maksimal. Atas dasar itu, Nina mengimbau kepada seluruh pemangku kepentingan agar berbarengan mengkampanyekan pentingnya pemenuhan hak pekerja perempuan. “Memang kami belum lakukan sosialisasi secara maksimal, itu tugas kita bersama,” pungkasnya.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt517e525593bf9/hak-pekerja-perempuan-masih-terabaikan



CONTOH KASUS PASAR BEBAS


TEMPO Interaktif, Taiwan - Dua jaringan supermarket terbesar di Taiwan berhenti menjual produk mi instan merek Indomie setelah pemerintah Taiwan menemukan  bahan pengawet yang dilarang di produk asal Indonesia.Pusat Keamanan Makanan Taiwan telah menguji mi tersebut dan bakal menanyakannya terhadap insiden tersebut ke para importir dan distributor. Importir dari Hong Kong mengatakan mi-mi tersebut diperkirakan dibawa ke Thailand secara ilegal.

Beberapa warga Taiwan mengatakan mereka akan membeli mi merek lain. Sementara, para tenaga kerja Indonesia di Taiwan mengaku akan tetap memakan Indomie karena harganya enak dan murah.Pemerintah Taiwan mengumumkan menarik mi instan Indomie, Jumat. Penarikan itu dilakukan setelah dua bahan pengawet terlarang, methyl p-hydroxybenzoate dan benzoic acid, ditemukan di dalam Indomie. Bahan pengawet tersebut hanya dibolehkan untuk kosmetik.

Bahan pengawet tersebut dilarang digunakan di makanan-makanan di Taiwan, Kanada, dan Eropa. Jika bahan pengawet tersebut dikonsumsi, bisa menyebabkan orang muntah. Bahkan, kalau bahan pengawet tersebut dimakan untuk jangka waktu yang cukup lama atau dalam jumlah yang banyak, itu bisa menyebabkan metabolic acidosis, sebuah kondisi akibat terlalu banyak mengkonsumsi asam.Jaringan toko ParknShop dan Wellcome menarik semua produk Indomie dari supermarket-supermarket milik mereka. Importir Indomie di Taiwan, Fok Hing (HK) Trading, mengatakan mi produk Indomie sudah memenuhi standar keamanan makanan di Hong Kong maupun Badan Kesehatan Dunia (WHO). Fok Hing (HK) Trading mengutip penilaian kualitas Indomie pada Juni yang menyatakan tidak menemukan kandungan pengawet terlarang di Indomie. "Mi Indomie aman dimakan dan mereka masuk ke Hong Kong melalui salurang impor resmi," tulis Fok Hing (HK) Trading. "Produk yang mengandung racun dan ditemukan di Taiwan diduga diimpor secara ilegal." Sebuah supermarket Indonesia di Taiwan, East-Southern Cuisine Express, di Causeway Bay mengatakan bahwa produk Indomie mereka bukan barang selundupan dan aman dimakan. Satu paket berisi lima bungkus Indomie di Taiwan dijual 10 dolar Hong Kong (Rp 11. 500) Sementara, merek lainnya seharga 15 dolar Hong Kong (Rp 17.200) sampai 20 dolar Hong Kong (Rp 23.000). Indomie diminati di Hong Kong setelah sebuah iklan menunjukkan seorang bayi menari dan terbang setelah minum satu mangkuk Indomie.

Sementara itu, produsen Indomie di Indonesia, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP).mengatakan produk-produk mereka sudah memenuhi standar internasional. "ICBP menegaskan bahwa produk-produknya telah sesuai dengan petunjuk global yang dibuat CODEX Alimentarius Commission, badan standar makanan internasional. Kami sedang mengkaji situasi di Taiwan terkait beberapa laporan tersebut dan akan mengambil langkah yang diperlukan untuk melindungi konsumen kami di negara itu dan negara lainnya," ujar Direktur ICBP Taufik Wiraatmadja dalam siaran pers di situs Indofood, Senin (11/10).


http://www.tempo.co/read/news/2010/10/11/118283832/Mengandung-Pengawet-Terlarang-Indomie-Ditarik-di-Taiwan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar