Selasa, 27 Maret 2012

Makalah Pendidikan Kewarganegaraan


TUGAS MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
KASUS KEBEBASAN BERPENDAPAT DI INDONESIA SEHUBUNGAN
DENGAN PASAL 27 AYAT 3 UUD 1945 DAN
UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008




Anggota Kelompok  4            :
1.      Niki Purnama Sari                   (14210982)
2.      Ninda Utami Ridanti             (15210000)
3.      Nur Anastatia                          (15210115)
4.      Ovia Dharma                           (15210292)
5.      Rahma Nuzuli Kartika N        (15210555)
6.      Raisa Fidayanti                       (15210596)
7.      Ria Indriati                              (15210848)
8.      Rini Pratiwi                             (19210529)
9.      Riri Syukriati                           (18210980)
10.  Sendy Oktaviani Putri                  (16210444)

 Kelas  :  2EA13

UNIVERSITAS GUNADARMA
2012 - 2013
Agus Hamonangan Moderator Forum Pembaca Kompas di Periksa Polisi
Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menunda pemeriksaan terhadap moderator mailing list (milis) Forum Pembaca Kompas Agus Hamonangan soal artikel "Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto" karya jurnalis Narliswandi Piliang.
Agus meminta waktu mencari pengacara yang akan mendampinginya selama pemeriksaan oleh Satuan Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus.  
Penyidik Polda Metro Jaya semula memanggil Agus Hamonangan untuk dimintai keterangan. Ia akan diperiksa sebagai saksi kasus pencemaran nama baik dan penistaan yang dilaporkan oleh politikus Partai Amanat Nasional Alvin Lie. Alvin menilai Narliswandi mencemarkan namanya dengan menulis artikel itu. "Saya agak kaget, ini pertama kali moderator milis dipanggil polisi," ucap Agus
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai materi pemuatan dalam suatu mailing list (milis) forum diskusi tidak dimasukan ke dalam jalur hukum.
Pernyataan itu terkait kasus pemeriksaan moderator milis Forum Pembaca Kompas (FPK), Agus Hamonangan sebagai saksi perkara pencemaran nama baik di Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) selaku pendamping hukum Agus Hamonangan menyatakan, penyidik mengajukan 12 pertanyaan kepada Agus Hamonangan di antaranya adalah prosedur pendaftaran anggota milis, prosedur posting email, dan tanggung jawab moderator terhadap posting email.
Agus diperiksa sebagi saksi terkait pemuatan tulisan berjudul Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto, karya Narliswandi Piliang, atau yang dikenal dengan nama Iwan Piliang. Pelapor kasus tersebut adalah Anggota DPR Fraksi Partai Amanat Nasional Alvin Lie.
Artikel tersebut awalnya ditulis di Tajuk Rakyat dan tersebar di milis. Dalam artikel itu diceritakan tentang kedatangan Alvin Lie ke PT Adaro untuk menemui Teddy Rahmat. Alvin Lie mengajukan permintaan uang Rp 6 miliar sebagai kompensasi penggagalan hak angket PT Adaro di DPR. Setelah terjadi tawar-menawar kemudian disepakati Rp1 miliar untuk Alvin Lie.
Apabila Alvin Lie berkeberatan terhadap tulisan yang dimuat maka tindakan selanjutnya yang harus dilakukan adalah menjadi anggota milis atau menghubungi moderator untuk memuat jawaban darinya, kata Direktur Publikasi dan pendidikan publik YLBHI, Agustinus Edy Kristianto dalam keterangan resminya, (Kamis 4/9/2008). 
Seperti dikatakan Agustinus, saksi Agus Hamonangan mengatakan, dalam pendaftaran anggota milis FPK hanya dibutuhkan alamat email saja. Semua bebas mengemukakan pendapat asal tidak berbau suku, agama, ras, antargolongan (SARA). Moderator tidak mengubah isi dari tulisan dan tidak bertanggungjawab terhadap tulisan. Apabila ada yang berkeberatan akan sebuah opini maka biasanya akan ada opini lain yang menjawab dalam milis diskusi FPK. Alvin Lie, tidak memberikan pernyataan untuk menjawab diskusi dalam FKK.
Agus Hamonangan diperiksa oleh penyidik Polda Metro Jaya Sat. IV Cyber Crime yakni Sudirman AP dan Agus Ristiani. Merujuk pada laporan Alvin Lie, ketentuan hukum yang dilaporkan adalah dugaan perbuatan pidana pencemaran nama baik dan fitnah seperti tercantum dalam Pasal 310, 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta dugaan perbuatan mendistribusikan/mentransmisikan informasi elektonik yang memuat materi penghinaan seperti tertuang dalam Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kemajuan teknologi memasuki abad informasi, ada upaya kita untuk tidak bisa memisahkan batasan- batasan yang berlaku sesuai kaidah hukum, seolah-olah menulis blog, melakukan aktivitas jurnalisme warga (citizien journalism), menjadi moderator, dan aktivitas di jejaring internet lainnya tidak bisa dihukum.
Dan fenomena ini muncul dalam kehidupan kita, ketika tuduhan terhadap seseorang melakukan korupsi di salah satu situs Web dimasukkan ke mailing list Forum Pembaca Kompas menyebabkan moderator forum dipanggil sebagai saksi oleh kepolisian untuk diperiksa. Persoalan muncul ketika terjadi pertanyaan apakah moderator mailing list tidak bertanggung jawab atas materi isi yang dibahas di forum tersebut dan bebas nilai?
Pipa dua arah
ini menjadi ujian penting untuk Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)yang mengatur Ini persoalan rumit, melibatkan banyak aspek memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi yang menghadirkan fenomena baru dan tanpa preseden sama sekali. Di sisi lain, persoalan keseluruhan hidup dan aktivitas kita di jejaring internet.
Persoalan ini penting untuk mengukur apakah demokrasi yang kita jalankan di jejaring internet adalah bebas nilai yang semaunya mencemarkan nama baik, menuduh seseorang, atau memfitnah atas nama kebebasan berpendapat, berekspresi, dan mengemukakan kebenaran?
Setelah tergulingnya Orde Baru, demokrasi dan kemajuan teknologi komunikasi informasi adalah satu persoalan dalam dua sisi sebuah koin. Sisi pertama, demokrasi dan reformasi yang menggebu-gebu memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi, serta menghadirkan empat presiden yang berbeda-beda, ternyata tidak mampu mengusir kezaliman dan kejahatan diri kita semua dalam cara berpikir dan korupsi.

Artinya, campuran demokrasi dan kemajuan teknologi komunikasi informasi ternyata tidak mengubah apa-apa secara fundamental dalam kehidupan kita bernegara, berbangsa, dan berinformasi. Kita memang berhasil dalam menikmati kebebasan berpendapat seenaknya, lebih enak dari negara-negara Barat sebagai kampiun kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Sisi kedua, teknologi komunikasi informasi tercampur demokrasi-reformasi, menghasilkan apa yang disebut sebagai jurnalisme warga, yang secara definisi dirumuskan sebagai memainkan peranan aktif dalam proses pengumpulan, pelaporan, analisa, serta diseminiasi berita dan informasi.
Artinya, dalam era demokrasi-reformasi berbasis informasi sekarang ini semua warga di negara kepulauan Nusantara ini adalah konsumen, semua orang adalah distributor, semua warga menjadi agregator, dan semua orang adalah produser. Menurut CEO Reuters Tom Glocer, dari kantor berita Inggris ternama dan disegani di dunia, kita hidup dalam era pipa dua arah. Glocer menajamkan pengertiannya bahwa semua orang memiliki potensi sebagai mitra dan sekaligus sebagai kompetitor.

Bunyi Pasal 27 ayat 3

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Sanksi pelanggaran pasal disebutkan pada Pasal 45 ayat 1 adalah :

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dasar–dasar diajukannya permohonan pengujian ini adalah karena Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28 C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 E ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE menurut para pemohon telah bertentangan dengan prinsip–prinsip negara hukum yang menginginkan setiap pembentukan UU dijelaskan secara jelas, dapat dimengerti, dan dapat dilaksanakan secara adil. Selain itu Pasal 27 ayat (3) bertentangan dengan asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi.
Pasal 27 ayat (3) bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, dimana rakyat berhak memilih para penyelenggara negara melalui pemilu. Untuk itu rakyat berhak untuk menerima, mengolah, membuat, mengirimkan, dan menyebarluaskan informasi latar belakang dari para calon penyelenggara negara. Informasi tersebut, akan sangat mudah berbelok menjadi tindak pidana penghinaan, sehingga membuat para pemohon tidak lagi dapat secara bebas untuk menerima, mengolah, membuat, mengirimkan, dan menyebarluaskan informasi latar belakang dari para calon penyelenggara negara yang akibatnya para pemohon kehilangan kesempatan untuk menentukan pilihannya secara tepat, bijak, dan rasional.

Pasal 27 ayat (3) telah melanggar asas lex certa dan kepastian hukum karena pasal 27 ayat (3) tidak dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya dan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum.

Selain itu rumusan pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan karena, jika ancaman pidana lebih dari 5 tahun dapat secara efektif menghambat hak para pemohon untuk menduduki jabatan – jabatan publik dan menjadi bagian dari profesi hukum.

Untuk itu Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik agar ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi

Pada pokoknya dalam permohonan tersebut para pemohon mendalilkan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah mengabaikan prinsip-prinsip negara hukum, melanggar prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, melanggar prinsip lex certa dan kepastian hukum, Pasal 27 ayat (3) UU ITE mempunyai potensi disalahgunakan, melanggar kemerdekaan berekspresi, berpendapat, menyebarkan informasi, dan Pasal 27 ayat (3) mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan.

Keseluruhan dalil Para Pemohon tersebut sangat relevan mengingat bahwa masalah reputasi sesungguhnya telah diatur secara rinci dan rigid dalam KUHP, sehingga pengaturan delik reputasi yang sama sekali baru tentu harus dipertanyakan motif dari para perumus UU tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia juga menunjukkan dengan baik bahwa di negara-negara hukum modern seperti Belanda, Singapura, dan Australia sekalipun tidak memiliki delik reputasi yang secara khusus diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP.
Di dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE terdapat 2 unsur, yaitu
1)      unsur obyektif dan
2)       unsur subyektif.
Unsur-unsur obyektif di dalam pasal tersebut adalah:
1. Perbuatan:
·         Mendistribusikan
·         Mentransmisikan
·         Membuat dapat diaksesnya.
2. Melawan hukum, yaitu yang dimaksud dengan “tanpa hak”
3. Obyeknya adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memuat penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Unsur subyektif adalah berupa kesalahan, yaitu yang dimaksud dengan “dengan sengaja”. Ketiga perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya suatu informasi dan/atau dokumen elektronik tidak dapat diketemukan penjelasannya di dalam UU ITE tersebut baik dari sisi yuridis maupun sisi IT. Kalau kita lihat konteks pengundangan ini, maka sebenarnya Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini merupakan lex specialis dari KUHP karena merupakan pengkhususan dari penghinaan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) di ranah internet.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengetahui bahwa Pasal 27 ayat 3 UU ITE dapat dipakai dalam kasus penghinaan di dalam ranah internet sedangkan tidak ada penjelasan tersendiri terhadap pasal ini.
Permasalahan ini sempat menjadi polemik dikemudian hari setelah pengundangan UU ITE. Kasus pertama dari UU ITE ini adalah kasus pencemaran nama baik oleh seorang jurnalis bernama Narliswandi Piliang atau biasa disebut dengan Iwan Piliang kepada Alvien Lie seorang anggota DPR melalui milis Forum Pembaca Kompas. Berdasarkan laporan Alvien Lie kepada polisi tersebut pada tanggal 25 November 2008 Iwan Piliang menggugat pasal tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang didukung oleh Masyarakat Telematika (MASTEL) dan Asosisasi Pengusaha Warnet dan Komunitas Telematika (Apwkomitel).
Adapun bunyi putusan terhadap gugatan dari Iwan Piliang adalah sebagai berikut:
·         Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku pemohon;
·         Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo;
·         Norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum;
·         Dalil-dalil para Pemohon tidak tepat dan tidak beralasan hukum.

 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia:
Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.3
Adapun bunyi putusan oleh legal standing kedua dari pers adalah sebagai berikut:
Materi muatan ayat dan pasal undang-undangan yang dimohonkan pengujiannya sama dengan materi, muatan, ayat, atau pasal undang-undang yang telah diperiksa, diadili, dan diputus dalam perkara Nomor 50/PUU-VI/2008 yang amarnya berbunyi “Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya”, oleh karenanya permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima.
 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.4
Salah satu pertimbangan dari majelis hakim MK saat itu adalah bahwa sebenarnya Pasal 27 ayat 3 UU ITE tidak mengatur kaidah hukum baru, melainkan hanya mempertegas penghinaan di dalam KUHP dengan tambahan ranah internet. Dengan demikian, kesimpulan yang dapat ditarik dari polemik terhadap Pasal 27 ayat 3 UU ITE pada awal pengundangannya adalah bahwa unsur-unsur Pasal 27 ayat 3 UU ITE haruslah mengacu kepada unsur-unsur penghinaan/pencemaran nama baik pada KUHP dengan tambahan sarana internet sebagai medianya.
Pasal 27 ayat 3 UU ITE mensyaratkan bahwa yang dapat dikenai pidana adalah seseorang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. 


Pengabaian Fakta Hukum

Putusan MK No 50/PUU-VI/2008 jo Putusan MK No 2/PUU-VII/2009 terkait dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE secara jelas telah mengabaikan fakta – fakta yang terungkap di persidangan sebagai berikut :


(1) Ketidakjelasan kategorisasi delik

Pasal 27 ayat (3) UU ITE jelas tidak menjelaskan apakah delik ini masuk dalam kategori Delik Aduan atau masuk dalam kategori Delik Biasa. Jika merujuk pada pendapat Ahli Pemerintah, Dr. Mudzakkir, SH, MH, dalam sidang pleno pada 19 Maret 2009 yang pada pokoknya menerangkan bahwa kategorisasi delik reputasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE sangat tergantung pada delik reputasi dalam KUHP yang di-insert kedalamnya.
Dengan kata lain apabila delik reputasi dalam KUHP yang di-insert adalah delik biasa maka kategorisasi delik pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik biasa namun jika delik reputasi dalam KUHP yang di-insert adalah delik aduan maka kategorisasi delik pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan. Dalam pertimbangannya, MK langsung menyatakan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE masuk dalam kategori delik aduan, tanpa ada penjelasan teoritis bagaimana MK menemukan bahwa Pasal 27 ayat (3) masuk dalam kategori delik aduan

(2) Delik reputasi dalam KUHP masih mampu menjangkau ranah internet
(3) Tidak ada negara hukum modern yang memiliki delik reputasi yang diatur secara khusus untuk penggunaan di ranah internet
(4) Kekaburan Definisi
 Selain itu pengertian akses sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 15 UU ITE jelas berlawanan dengan pengertian akses dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dimana akses menurut Pasal 1 angka 15 dilakukan terhadap sistem elektronik dan bukan terhadap informasi dan/atau dokumen elektonik.
Terlihat jelas, bahwa Putusan No 50/PUU-VI/2008 jo Putusan No 2/PUU-VII/2009 telah mengabaikan beragam fakta hukum yang tampil di persidangan sebagaimana telah penulis sebutkan diatas




Bukan Konstitusional Bersyarat

Salah satu yang dapat dianggap kemenangan kecil adalah masuknya Pasal 27 ayat (3) UU ITE kedalam delik aduan, namun yang harus catatan penting dan harus dicermati dengan baik adalah pernyataan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya ada dalam pertimbangan hukum MK dan bukan masuk kedalam amar putusan atau dalam kesimpulan dari Putusan MK tersebut. Sehingga dalam pandangan penulis, sangat mungkin terjadi apabila aparat penegak hukum malah mengabaikan pertimbangan hukum dari MK tersebut dan mengikuti pandangan dari Dr. Mudzakkir, SH, MH, Ahli pemerintah, yang menyatakan bahwa kategorisasi delik reputasi dalam Pasal 27 ayat (3) mengikuti jenis delik reputasi dalam KUHP yang akan didakwakan.
Selain itu penulis menemukan fakta yang menarik tentang bagaimana MK memberikan definisi yang berbeda tentang “dengan sengaja” dan “tanpa hak” pada Putusan No 50/PUU-VI/2008 dan Putusan No 2/PUU-VII/2009. Dalam Putusan No 50/PUU-VI/2008, MK menyatakan (garis tebal oleh penulis):

“Bahwa unsur dengan sengaja dan tanpa hak merupakan satu kesatuan yang dalam tataran penerapan hukum harus dapat dibuktikan oleh penegak hukum. Unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak” berarti pelaku “menghendaki” dan “mengetahui” secara sadar bahwa tindakannya dilakukan tanpa hak. Dengan kata lain, pelaku secara sadar menghendaki dan mengetahui bahwa perbuatan “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” adalah memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Adapun unsur tanpa hak merupakan unsur melawan hukum. Pencantuman unsur tanpa hak dimaksudkan untuk mencegah orang melakukan perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”

Sementara dalam Putusan Perkara No 2/PUU-VII/2009, MK malah menyatakan (garis tebal oleh penulis):

“Bahwa unsur sengaja berarti pelaku menghendaki dan mengetahui perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan mengetahui bahwa informasi dan/atau dokumentasi elektronik tersebut memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sedangkan unsur tanpa hak merupakan unsur melawan hukum. Unsur tanpa hak dimaksudkan untuk menghindarkan orang yang melakukan perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan mengetahui bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik tersebut memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik berdasarkan hukum dapat dipidana.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Menimbang :

 a. bahwa pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus
senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat;

b. bahwa globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai
pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga
pembangunan Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar
ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa;

c. bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah
menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang
secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru;

d. bahwa penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi harus terus dikembangkan
untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan demi kepentingan nasional;

e. bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan
pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat;

f. bahwa pemerintah perlu mendukung pengembangan Teknologi Informasi melalui
infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi
dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan
nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;







KESIMPULAN
Menurut  pendapat kelompok kami atas kasus ini adalah suatu ujian penting untuk Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur persoalan ini, karena melibatkan banyak aspek seperti memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi yang menghadirkan fenomena baru di jejaring internet.  Seharusnya pemerintah lebih mengatur dan lebih memperhatikan lagi tentang semua isi yang ada di Udang-Undang maupun di dalam pasal-pasal yang sudah di sah kan oleh pemerintah, agar masalah tentang pelanggar UU ITE tidak terjadi lagi. Belajar dari kasus ini, seharusnya para jurnalisme harus lebih berhati-hati lagi dalam menulis suatu berita maupun menuliskan suatu fakta dari seorang narasumber yang di wawancarainya, agar tidak bermasalah dengan tulisan atau berita yang jurnalis sudah tulis baik melalui media cetak, media elektronik, maupun melalui internet. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar